Penentu Sosial Kejadian Stunting pada Balita (Terkait Ilmu Sosial Perilaku)


A.     Pendahuluan
Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis pada masa pertumbuhan dan perkembangan akibat asupan gizi yang kurang dalam waktu yang cukup lama, mengakibatkan tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. Kondisi ini dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -2 standar deviasi (SD) (WHO, 2010). Berdasarkan UNICEF (2013), secara global sekitar 1 dari 4 balita mengalami stunting, sedangkan di Indonesia, berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, terdapat 37,2% balita yang mengalami stunting (Depkes, 2013).
Prevalensi stunting ini meningkat dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2010 yaitu sebesar 35,6%. Usia terbanyak pada kelompok balita stunting yaitu usia 25–36 bulan, karena pada masa balita merupakan periode yang sangat peka terhadap lingkungan, sehingga mudah terkena penyakit dan mengalami kurang gizi (Welasasih et al., 2012; Ni’mah dan Siti., 2015). Stunting pada balita jika tidak segera ditangani dapat menghambat perkembangan anak, dengan dampak negatif yang akan berlangsung jangka panjang berlanjut dalam fase kehidupan selanjutnya seperti penurunan intelektual, rentan terhadap penyakit menular dan tidak menular, penurunan produktivitas hingga menyebabkan kemiskinan dan risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (UNICEF, 2012; dan WHO, 2010).

B.     Diagram Penentu Sosial Kejadian Stunting pada Balita








Sumber :  Nugroho (2016), Torlesse dkk. (2016), Wahdah dkk. (2015)

C.     Pembahasan

Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting pada balita, baik biologis maupun sosial. Berdasarkan diagram diatas, terdapat beberapa penentu sosial kejadian stunting, dibagi menjadi faktor ekonomi, lingkungan rumah tangga, pelayanan kesehatan, edukasi dan makanan, dimana suatu faktor menjadi penyebab ataupun berkaitan erat dengan faktor penentu stunting yang lain. Faktor ekonomi menjadi salah satu faktor utama penentu kejadian stunting. Anak atau balita dari keluarga dengan tingkat ekonomi rendah akan 3,51 kali lebih beresiko mengalami stunting dibandingkan anak dari keluarga yang memiliki tingkat ekonomi baik (Nugroho, 2016). Tingkat ekonomi kelurga sendiri dipengaruhi pendidikan orangtua, terutama ayah sebagai kepala keluarga, yang sedikit banyak akan berpengaruh terhadap peluang untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang memadai. Umumnya keluarga dengan tingkat ekonomi dan  pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki pola makan dan gaya hidup yang lebih sehat (Cox dan Anderson 2004). Salah satu contoh terkait tingkat pendidikan dan pendapatan rendah yaitu pada penelitian Wahdah dkk. (2015), sekitar 15-41% pengeluaran untuk makanan digunakan untuk membeli rokok oleh 35% dari keseluruhan subjek penelitian. Kecendrungan ini terjadi pada keluarga yang memiliki anak stunting, hal ini menunjukkan bahwa pendapatan keluarga tidak diprioritaskan untuk membeli makanan bergizi. Berdasarkan Nugroho (2016), ketersediaan pangan yang rendah dalam keluarga 3,64 kali lebih tinggi untuk beresiko memiliki anak yang stunting dibandingkan dengan keluarga yang memiliki ketersediaan pangan memadai.

Tingkat pendidikan ibu juga mempengaruhi kejadian stunting pada balita. Berdasarkan Torlesse dkk. (2016), pada ibu yang tidak menyelesaikan sekolah dasar atau hanya bersekolah sampai sekolah dasar, prevalensi stunting pada anak lebih tinggi (19,4%) dibandingkan dengan ibu yang bersekolah hingga tingkat menengah atau atas (3%). Pendidikan ibu dapat berpengaruh terhadap pola asuh dan pemilihan makanan dalam keluarga. Berdasarkan penelitian Wahdah dkk (2015), anak yang diasuh dengan pola asuh baik dapat tumbuh dengan normal, sebaliknya anak yang tidak memperoleh pola asuh baik cenderung mengalami stunting. Pola asuh yang baik merupakan salah satu faktor penting untuk menjamin pertumbuhan anak yang optimal. Pada keluarga dengan tingkat ekonomi rendah, umumnya ketersediaan pangan dalam rumah tangga rendah, tetapi jika ibu memiliki pengetahuan mengenai cara mengasuh anak dapat berupaya menggunakan sumber daya yang terbatas supaya anak mencapai pertumbuhan optimal. Namun jika ibu yang bekerja untuk menambah penghasilan keluarga, anaknya memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami stunting dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Hal ini karena kurangnya waktu ibu untuk mengurusi anaknya, sehingga berpengaruh terhadap kecukupan gizi anak terutama balita yang memerlukan asupan gizi optimal untuk pertumbuhannya (Wahdah dkk., 2015)

Faktor penentu stunting lain yang terkait dengan pendidikan ibu adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi, yang terlihat dari rendahnya kunjungan ibu ke posyandu yaitu sekitar (40,5%) (Wahdah dkk., 2015). Posyandu merupakan salah satu sarana penyampaian informasi berkaitan dengan gizi dan kesehatan khususnya balita dan anak. Dari hasil penelitian, kunjungan ibu yang memiliki anak stunting ke posyandu tidak rutin setiap bulan, umumnya hanya saat diberikan imunisasi dan vitamin. Padahal dengan datang ke posyandu, anak akan dipantau berat badan dan tinggi badannya, serta diberi konsultasi gizi terkait pertumbuhan anak sehingga dapat membantu mencegah kejadian stunting. Kuurangnya pengetahuan keluarga terutama ibu tentang gizi juga terlihat dari banyaknya anak yang tidak diberikan inisiasi menyusui dini, dimana ASI tersebut mengandung kolostrum, kemudian anak juga tidak mendapat ASI eksklusif, karena mendapatkan MP-ASI yang terlalu dini, sehingga mempengaruhi terjadinya stunting (Wahdah dkk., 2015).

Faktor ekonomi juga mempengaruhi Lingkungan Rumah Tangga, salah satunya lingkungan tempat tinggal. Keluarga yang memiliki tingkat ekonomi baik cenderung tinggal ditempat yang sanitasi lingkungannnya baik, serta memiliki sarana yang memadai terutama yang berkaitan dengan kebersihan, seperti tempat pembuangan sampah, jamban yang terstandar dan sumber air bersih yang cukup. Hal ini juga berpengaruh terhadap kejadian stunting pada anak. Berdasarkan penelitian Torlesse dkk. (2016), anak yang tinggal dilingkungan dengan sanitasi buruk, lebih beresiko mengalami stunting dibandingkan anak yang tinggal dilingkungan yang lebih baik. Prevalensi anak mengalami stunting, yang tinggal dilingkungan dengan sarana toilet/jamban tidak baik, secara signifikan lebih tinggi (35,3%) dibandingkan yang tinggal dilingkungan dengan jamban yang baik (24%). Kemudian rumah tangga yang tidak menggunakan sabun untuk mencuci tangan, prevalensi anak yang mengalami stunting lebih tinggi (31,6%) dibandingkan dengan yang menggunakan sabun (25,8%). Selain itu rumah tangga yang mengkonsumsi air minum yang diolah terlebih dahulu, prevalensi anak yang mengalami stunting lebih rendah (27,3%) dibandingkan yang mengkonsumsi air minum tanpa diolah(38,2%).

Daftar Pustaka

Cox D, Anderson A. 2004. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Laporan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013. Balitbangkes. Jakarta
Ni’mah, K., dan Siti RN. 2015. Faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita. Media Gizi Indonesia, Vol. 10, No. 1 2015: hlm. 13–19
Nugroho, A. 2016. Determinan Growth Failure (Stunting) Pada Anak Umur 1 S/D 3 Tahun (Studi Di Kecamatan Tanjungkarang Barat Kota Bandar Lampung). Jurnal Kesehatan, Volume Vii, Nomor 3, November 2016, Hlm 470-479
Torlesse, H., Aidan A, Susy K dan Robin N. 2016. Determinants Of Stunting In Indonesian Children: Evidence From A Cross-Sectional Survey Indicate A Prominent Role For The Water, Sanitation And Hygiene Sector In Stunting Reduction. BMC Public Health (2016) 16:669
UNICEF. 2013. Improving Child Nutrition, The Achievable Imperative For Global Progress. United Nations Children’s Fund. New York.
Wahdah, S., M. Juffrie, Emy H. 2015. Faktor risiko kejadian stunting pada anak umur 6-36 bulan di Wilayah Pedalaman Kecamatan Silat Hulu, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Jurnal Gizi Dan Dietetik Indonesia Vol. 3, No. 2, Mei 2015: 119-130
Welasasih, BD., dan R. Bambang W. 2012. Beberapa faktor yang berhubungan dengan status gizi balita stunting. The Indonesian Journal of Public Health. Vol. 8, No. 3 Maret 2012: 99–104
WHO. 2010. Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country Profile Indicators: Interpretation Guide. World Health Organization. Geneva

Komentar

Postingan Populer